Dilahirkan Sebagai Pelayan

Apa reaksi Anda jika tahu bahwa anak Anda dilahirkan untuk menjadi seorang pelayan? Tentunya tidak mudah untuk menerimanya, bukan? Biasanya orang tua ingin anaknya menjadi yang terbaik, bukan pelayan. Namun, itulah yang digariskan Tuhan atas Yohanes, putra Zakharia dan Elisabet. Ia tidak dilahirkan untuk menjadi "lakon utama" dalam karya keselamatan Allah. Ia dilahirkan "cuma" untuk menjadi "lakon pembantu", merintis jalan bagi sang "lakon utama".

Peristiwa Natal, kelahiran Kristus yang terjadi sekitar 2.000 tahun yang lalu, tidak bisa dilepaskan dari peristiwa Natal atau kelahiran pribadi lain yang kemudian dikenal sebagai Yohanes Pembaptis. Ia dipanggil untuk mempersiapkan jalan bagi Kristus. Ia dilahirkan hanya beberapa bulan sebelum kelahiran Kristus. Ibunya, Elisabet, adalah saudara Maria, ibu Yesus. Maria bahkan sempat tinggal di rumah Elisabet selama 3 bulan sejak Yohanes berusia 6 bulan dalam kandungan ibunya (Lukas 1:39-40). Sekalipun demikian, tampaknya Yohanes muda tidak punya kesempatan untuk tumbuh bersama-sama dengan Yesus. Sejak usia kanak-kanak, Yesus sudah dibawa orang tuanya tinggal di Nazaret, Galilea, jauh dari kampung halaman Yohanes di pegunungan Yudea. Yohanes sendiri kemudian tinggal di padang gurun untuk mempersiapkan diri memulai pelayanan kenabiannya (Lukas 1:80).

Nama Yohanes sendiri berasal dari kata Ibrani yang berarti "Allah yang Pemurah". Nama pemberian Allah itu menyatakan bahwa penyebab kehadiran Yohanes adalah kemurahan hati Allah semata. Dialah yang mengaruniakan seorang putra bagi kedua orang tua Yohanes dalam usia lanjut mereka, apalagi ibunya mandul (Lukas 1:7). Dan bukan cuma itu, nama itu juga menyatakan kemurahan hati Allah pada umat-Nya. Setelah 400 tahun Tuhan mengambil sikap diam seribu bahasa terhadap mereka, kini ia mengutus nabi-Nya untuk menyuarakan pesan-Nya kepada mereka.

Misi Yohanes adalah "berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia ..." (Lukas 1:17). Dalam pengharapan Israel kala itu, umat meyakini bahwa Elia akan datang mendahului kehadiran Sang Mesias (Maleakhi 4:5-6). Kehadirannya menandakan bahwa Sang Mesias yang dinanti-nantikan akan segera datang. Seruan pertobatan yang dikumandangkan Yohanes, jubah bulu unta, dan ikat pinggang kulit yang dikenakannya, juga tempat tinggalnya di padang gurun menyatakan digenapinya nubuat tentang Elia yang akan datang untuk mempersiapkan jalan bagi Sang Mesias!

Seruan pertobatan yang dikumandangkan Yohanes tidak tanggung-tanggung. Tanpa tedeng aling-aling, ia menyebut para pemimpin agama Yahudi "keturunan ular beludak" (Matius 3:7). Tajam sekali! Pesannya pun sangat keras: "Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api" (Matius 3:8-10).

Yohanes terus menyuarakan pesan kenabiannya dengan berani dan setia. Hingga suatu saat, karena tegurannya yang keras terhadap kejahatan Herodes Antipas, penguasa wilayah Galilea dan Perea, ia dipenjarakan lalu mati dipenggal kepalanya. Jalan hidupnya tidak banyak berbeda dengan para pendahulunya, nabi-nabi Perjanjian Lama, yang dengan setia menyerukan kebenaran ilahi dan harus menanggung berbagai kesulitan, bahkan malapetaka, gara-gara seruan mereka.

Selain keberanian dan kesetiaannya yang luar biasa dalam menyuarakan kebenaran, Yohanes memiliki satu hal lain yang tidak kalah pentingnya. Ia sangat rendah hati. Di puncak popularitasnya, ketika banyak orang bertanya-tanya apakah dia Sang Mesias yang ditunggu-tunggu, ia tidak tergoda untuk mengultuskan dirinya. Dengan tegas, ia menyatakan dirinya sebagai "suara yang berseru-seru di padang gurun, "Luruskanlah jalan bagi Tuhan!" (Yohanes 1:23). Dengan rendah hati, ia menegaskan bahwa pelayanannya hanyalah "pengantar" dari pelayanan Sang Mesias.

Yang lebih mencengangkan adalah pernyataannya: "Membuka kasut-Nya pun aku tidak layak" (Yohanes 1:27b). Di Palestina kuno, biasanya seseorang mengenakan kasut (sepatu sandal yang terbuka) untuk bepergian. Bisa dibayangkan, betapa kotor kakinya setelah menempuh suatu perjalanan. Tugas seorang budak adalah untuk membuka tali kasut tamu yang datang berkunjung ke suatu rumah. Kala itu, seorang guru biasanya tidak dibayar. Sebagai gantinya, murid-muridnya akan mengerjakan berbagai pekerjaan baginya. Namun, tentang membuka tali kasut, peraturan kerabian berkata, "Setiap jenis pelayanan yang dilakukan oleh seorang budak bagi tuannya haruslah juga dilakukan oleh seorang murid bagi gurunya, kecuali melepaskan tali kasutnya". Jadi, melepas tali kasut kala itu dianggap sebagai pekerjaan yang terlalu rendah untuk dilakukan seorang murid. Bagaimanapun, Yohanes mengganggap dirinya tidak layak bahkan untuk melakukannya bagi Sang Mesias! Betapa rendah hatinya!

Kerendahan hati Yohanes bukan sekadar basa-basi. Terbukti ketika para pengikutnya akhirnya beralih mengikuti Sang Mesias (Yohanes 3:26), ia berkata, "Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh" (Yohanes 3:29). Ia mengenal dirinya dengan baik, sehingga ia bisa bersukacita dengan apa yang terjadi. Bahkan, kemudian ia berkata, "Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil" (Yohanes 3:30).

Inilah sukacita sejati yang bisa kita peroleh di hari Natal. Bukan sukacita karena menjadi yang utama. Bukan sukacita karena beroleh pujian dari manusia. Bukan sukacita karena mendapatkan segala sesuatu yang kita inginkan. Melainkan sukacita karena mengerti panggilan Tuhan dalam hidup kita dan dimampukan untuk menunaikannya. Sudahkah Saudara memiliki sukacita semacam itu?

(Penulis : Sutrisna)

No comments:

Post a Comment