Memahami Budaya
Setiap orang memiliki budaya dan tidak seorangpun dapat dipisahkan dari budayanya sendiri. Tantangan berat bagi para misionaris (domestik maupun luar negeri) adalah mengidentifikasi diri dengan orang-orang yang dilayani. Untuk itu, mereka dituntut memahami akan budaya kelompok masyarakat yang disapa.
-
Langkah pertama untuk belajar budaya-budaya lain adalah menguasai budaya sendiri, jika demikian, apakah budaya itu? Lloyd E. Kwast menjelaskan budaya sebagai berikut: Budaya memiliki empat lapisan yang terdiri dari tingkah laku (Behavior), nilai-nilai (Values), kepercayaan-kepercayaan (beliefs) dan pandangan dunia (World View).
- Tingkah laku, "Apa yang Dibuat Atau Dikerjakan"
Lapisan yang paling luar adalah tingkah laku (Behavior) yang dapat diamati pendatang-pendatang baru dengan mudah. Hal-hal pertama yang dapat diamati adalah apa yang dilakukan atau dijelaskan, yang meliputi kebiasaan-kebiasaan, produk, bahasa-bahasa sebagai sistem dalam berbagai bentuk (form) dan arti (meaning) yang dipelajari. Rangkaian antara bentuk dan arti menghasikan suatu simbol "Apa yang dikerjakan?". Pertanyaan tersebut melahirkan pertanyaan "Apa artinya?" Misal: Acungan jempol, berjabat tangan, orang barat berpelukan sambil mencium pipi, dan lain-lain.
- Nilai-Nilai "Apa yang Baik Atau yang Terbaik"
Kebanyakan dari tingkah laku didikte oleh suatu sistem nilai-nilai standar tingkah laku dan pertimbangan yang memberikan tuntutan ke dalam hal apa yang baik, indah atau terbaik, terindah. Sistem nilai biasanya tumpang tindih dengan budaya yang ditampilkan, yang menunjukkan adanya keperluan yang mendesak. Pertanyaan ini mencetuskan pertanyaan lain "Apa yang
dibutuhkan?".Contoh:
Di Irlandia jumlah penduduk lebih besar dari pada persediaan makanan, bahkan mengalami kekurangan makanan yang amat sangat dasyat sudah biasa. Oleh karena itu ada kebutuhan yang nampak dan mendesak yaitu mengurangi jumlah penduduknya. Tetapi karena jumlah mayoritas penduduk memeluk agama Kristen yang menolak KB, maka sebagai jalan keluar adalah kebiasaan budaya disusun dan dikembangkan dengan anjuran yang hampir menyerupai suatu keharusan bagi setiap penduduk untuk tidak menikah sebelum 30-an tahun. Akhirnya jumlah penduduk bisa dikurangi dikarenakan oleh penundaan pernikahan.
Di India terjadi sebaliknya, pernah juga terjadi kelaparan yang sangat hebat sehingga rata-rata orang di sana hanya berumur 28 tahun. Dan hampir setengah dari anak-anak meninggal sebelum berusia 5 tahun, sehingga terjadilah kekurangan penduduk. Dengan demikian nampaklah suatu kebutuhann dan budaya dikembangkan sebagai jalan keiuar yaitu wanita-wanita India hampir diwajibkan nikah saat berumur 12 dan 13 tabun. Akhirnya terjadilah ledakan jumlah penduduk yang luar biasa sampai sekarang.
- Kepercayaan-kepercayaan "Apa yang Benar?"
Nilai-nilai merefleksikan apa yang menggaris bawahi kepercayaan-kepercayaan. Seringkali kepercayaan-kepercayaan dipertahankan secara teoritis tetapi tidak mempengaruhi nilai-nilai atau tingkah laku, sebagaimana berperannya sistem kepercayaan-kepercayaan berfungsi sebagai peta mental dari dunia yang memberikan tuntutan kepada masyarakat setempat dalam mengambil keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan.
Contoh:
Perang suku di Kalimantan Barat, antara suku Madura dengan suku Dayak. Suku Dayak identik dengan kekristenan yang menurut kepercayaannya tidak boleh membunuh. Tetapi kebutuhan akan kelangsungan hidup dan kejayaan suku tersebut, membuat mereka memilih membunuh dari pada tetap pada garis kepercayaannya.
- Pandangan Dunia "Apa yang Terjadi?"
Pandangan dunia adalah keyakinan dasar seseorang yang berfungsi sebagai lensa tafsir terhadap kenyataan dan penuntun ke suatu keputusan.
Contoh:
Orang Jawa percaya ada hari-hari tertentu yang baik yang bisa mendatangkan keuntungan dan ada hari-hari tertentu yang tidak baik yang mendatangkan sial. Maka kalau ada rumah tangga yang berhasil atau gagal sering ditafsirkan karena pengaruh hari perkawinannya.
- Tingkah laku, "Apa yang Dibuat Atau Dikerjakan"
-
Budaya menurut para sarjana Antropologi. Budaya adalah "Hal-hal yang bersangkutan dengan akal" (Kuncaraningrat). Budaya adalah sejumlah kebiasaan yang saling berkaitan (Antropolog AS Boas Kroeber, Clinton, dll). Budaya adalah organisasi sosial yang dipantulkan oleh keseluruhannya (Antropolog Inggris Malinowski, Raeliffie Brown)
Sifat Umum dari Budaya
-
Allah menciptakan budaya. Para ilmuwan misiologi khususnya yang berpaham Injili, rata-rata percaya bahwa budaya adalah ciptaan Allah yang baik mulanya dan rusak akhirnya bersama jatuhnya manusia dalam dosa.
-
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk berbudaya. Ini adalah satu yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain yaitu manusia sebagai makhluk yang berbudi dan berbudaya.
-
Budaya telah rusak bersama rusaknya gambar dan rupa Allah dalam diri manusia, karena manusia tidak bisa dipisahkan dengan budayanya, maka penebusan sudah barang tentu meliputi budaya. Oleh karena itu, perlunya para misiolog mengamati dan menghargai budaya-budaya lain, mengantisipasi karya Allah di dalamnya, dan melalui mereka.
Injil dan Budaya
- Injil Dibalik Budaya
Dalam gerakan pemberitaan Injil yang dilakukan oleh para misionaris, pernah terjadi perbedaan yang tidak jelas antara Injil dan Kebudayaan. Walaupun tidak mudah, perbedaan Injil dan budaya harus dibuat dengan jelas. Jika perbedaan antara kedua unsur tersebut kurang jelas, ada bahaya bagi pembawa Injil untuk membiarkan budayanya sendiri menjadi pesan Injil. Ada beberapa cotoh bagasi budaya (Cultural baggage) yang dijadikan sebagian dari pesan Injil adalah demokrasi, kapitalisme, bangku dan mimbar gereja, sistem organisasi, dan peraturan, dan pakaian resmi pada hari minggu. Akhirnya seringkali terjadi permasalahan terhadap budaya asing yang ditambahkan atau dilampirkan pada pesan Injil mengakibatkan penolakan terhadap kekristenan.
Masalah kekristenan dan kebudayaan bukanlah hal yang baru. Dan kebingungan di antara orang Kristen dalam hidup ini sudah berlangsung lama. Rupanya masalah ini akan menjadi masalah tetap sepanjang sejarah Kristen. Sungguh hubungan antara kutub Kristen dan kebudayaan menjadi unsur-unsur permasalahan.
- Injil VS Budaya
Injil ketika berhadapan dengan budaya sering menghadapi dua kemungkinan antara lain: Injil menelan budaya atau budaya menelan Injil. Yang manapun yang terjadi antara keduanya tetap mendatangkan kerugian. Jalan keluarnya adalah Kontektualisasi.
Beberapa contoh:
Orang-orang Kristen di Jawa tidak lagi mengurusi kuburan leluhurnya dan memanjatkan doa disana. Sehingga kuburan-kuburan orang Kristen menjadi rusak, kotor dan tak terawat. Akibatnya orang-orang Jawa yang belum Kristen takut masuk Kristen karena takut kuburannya tidak terawat dan tidak dikirimi doa.
Orang-orang Kristen di Afrika tidak lagi membersihkan sampah-sampah, kotoran-kotoran yang menurut keyakinan sebelumnya sebagai tempat persembunyian roh-roh jahat (karena tidak lagi takut dengan roh-roh tersebut). Akibatnya sampah-sampah, kotoran-kotoran tersebut menjadi sarang penyakit dan banyak mendatangkan kematian, maka menghalangi orang lain untuk masuk Kristen.
Orang-orang Kristen Indonesia yang beribadahh di sebuah gereja dengan mimbar dan bangku, pakaian bagus, tata ibadah, paduan suara, seperangkat alat musik dan lain-lain lebih mencirikan budaya barat dari pada Injil, sehingga bagi orang-orang yag tak bisa menerima budaya barat dengan sendirinya menolak Injil.
Analisa Budaya
Para utusan Injil, untuk menghindari kekeliruan dan mencari peluang sebagai pintu masuk bagi Injil, harus menganaiisa budaya sesuai dengan tahapan-tahapannya.
- Tahap Fenomenologis
Tahap ini melihat pada permukaan fenomena. Dalam sains alami kita selidiki dari pengalaman panca indera. Para sains sosial (anthro, sosio, psiko) memandang dari pendekatan "orang dalam" (emic approach) terhadap realitas. Kita menyelidiki bagaimana orang dalam memandang sesuatu, sebab ini merupakan kerangka untuk kita mengerti kepercayaan dan tingkahlakunya.
Pendekatan "emic" ini menolong kita mengerti orang dari kebudayaan lain. Tetapi pendekatan ini tidak mengkritikkan. Keterangan fenomena ini diterirna sebagai yang benar. Jadi, kalau mereka berkata bahwa penyakit cacar disebabkan oleh suatu roh atau karena kutukan nenek moyang, jawaban itu diterima sebagaimana adanya. Pendekatan emic, akhirnya menghasilakn pikiran kenaifan dan relatifisme kultur. Tidak ada yang mutlak atau benar secara universal.
- Tahap Ontologis (Ontological level)
Pada tahap ini kita berusaha masuk ke bawah permukaan dangkal suatu fenomena untuk menilai baik data maupun teori untuk mengetahui "realitas yang sebenarnya" (true reality). Pada tahap ini kita mengevaluasi berbagai teori dengan menolak yang satu dan menerima yang lain. Sebab antaranya ada yang lebih dapat menjelaskan realitas daripada yang lain. Pada tahap ontologis kita menegaskan bahwa ada suatu realitas yang benar selain teori-teori yang mendukungnya, dan bahwa ada "penyebab" dan absolut yang universal.
Di bidang antropologi, pendekatan ontologis adalah pendekatan etic. Pendekatan "etic" berarti kita mengembangkan suatu sistem untuk membandingkan dan mengevaluasi berbagai kultur untuk mencapai suatu teori "universal". Misalnya, kita mengambil konklusi bahwa malaria di seluruh dunia di sebabkan oleh nyamuk. Atau gerhana matahari disebabkan oleh bulan melintas dibawah matahari.
- Tahap Misiologis
Dalam pelayanan lintas budaya kita harus menghadapi perbedaan antara penjelasan emic dan etic. Misalnya ada kultur yang membenarkan pembunuhan anak (infanticide), tetapi berdasarkan Alkitab kita menegaskan perbuatan itu sebagai dosa. Hitler membenarkan pembunuhan orang Yahudi, sebagai orang Kristen kita kutuk perbuatan itu sebagai dosa.
Dalam hubungan kita dengan masyarakat non Kristen barangkali kita mulai dengan kepercayaan dan praktek mereka. Misalnya, kepada orang yang beragama B yang menolak pembunuhan segala sesuatu, kita jelaskan obat luka sebagai "obat membersihkan luka" dari pada "obat pembasmi kuman'". Atau, kita mungkin mau tawarkan alternatif baru daripada menantang jawaban yang lama, seperti obat sebagai ganti dukun.
Bahaya memakai pendekatan emic ialah kita menguatkan kepercayaan mereka. Ada bagian-bagian dalam setiap kebudayaan yang tak dapat dilerima oleh Injil, dan bagian ini perlu ditantang. Di mana Injil tidak menantang kultur, melainkan mendukungnya maka akan timbul suatu "agama masyarakat". Supaya kita menghasilkan orang Kristen dewasa, maka kita harus menantang kepercayaan palsu dan memperkenalkan kebenaran Alkitabiah. Artinya kita harus memperkenalkan standar dan kepercayaan etic atau eksternal. Pendekatan missiologi yang baik akan menggabungkan pandangan emic dan etic, dan rela bekerja dalam ketegangan yang akan timbul diantaranya. Akan ada usaha untuk turut memahami kultur yang lain serta menjauhkan emosentrisme dengan memakai analisa emic. Juga ada usaha mencari kebenaran dan menjauhkan relatifisme dengan memakai analisa etic.
No comments:
Post a Comment