Kebebasan Beragama dan Kehadiran PBM

I. Apakah Kebebasan Beragama di Indonesia Sedang Terancam?

Pertanyaan ini perlu diajukan agar kita mendapat gambaran yang baik mengenai kebebasan beragama yang selama ini dijunjung tinggi oleh Konstitusi Republik Indonesia. Baru saja KH Hasjim Muzadi sebagai Ketua Penyelenggara ICIS (beberapa hari lalu), menegaskan kehebatan Pancasila di hadapan para peserta dari seluruh dunia, yang mengakomodasi setiap kepentingan termasuk kepentingan para penganut agama-agama yang berbeda. Ini berarti bahwa ada kebebasan bagi setiap orang menganut agama menurut keyakinannya masing-masing.

Kita senang dengan pernyataan Muzadi itu. Tetapi ada juga kecenderungan lain yang kita temukan di dalam masyarakat, yaitu tidak bebasnya orang mengekspresikan agamanya di depan umum, setidak-tidaknya dalam daerah-daerah tertentu. Di Jawa Barat dan Banten misalnya dirancukan antara ketiadaan rumah ibadah dengan kebebasan untuk beribadah. Artinya, karena rumah ibadah tidak ada, lalu orang mencari tempat darurat di ruko-ruko. Ini dilarang dan dicegah dengan alasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan peruntukannya. Tetapi tidak ada jalan keluar diberikan karena itu orang tidak lagi bebas untuk mengungkapkan keberagamaan mereka di depan umum. Keberagamaan saja tidak cukup, sebab bisa saja seseorang beragama tanpa merasa perlu mengungkapkannya.

Kebebasan sejati adalah ketika orang juga bebas mengungkapkannya secara terbuka, antara lain melalui ibadah. Selain itu kita juga mendengar adanya kecenderungan masyarakat kita yang makin tidak toleran terhadap mereka yang berpendapat lain. Atau terhadap yang mempunyai interpretasi yang berbeda dengan yang lazim (baca: the main stream). Hal itu terlihat dengan jelas dalam kasus Akhmadiyah yang sampai sekarang dituntut untuk dibubarkan.


Apakah kenyataan-kenyataan ini sudah dapat diketegorikan sebagai kebebasan agama yang terancam? Menurut saya, kendati belum meluas benar tetapi kalau dibiarkan - tanpa penanganan serius dari pemerintah - bukan tidak mungkin kebebasan beragama kita benar-benar akan diancam, dan bahkan akan direnggut dari tangan kita. Karena itu kita minta pemerintah tegas menegakkan konstitusi. Tindakan-tindakan pemerintah harus didasarkan atas konstiitusi, bukan atas nasihat dari lembaga-lembaga yang bukan negara.


II. Secara Normatif


Secara normatif, kebebasan beragama diakui sebagai satu dari hak-hak asasi manusia (HAM). Hal itu tertera secara jelas dalam Declaration of Human Rights. Banyak negara-negara termasuk Indonesia mengambil alih dan meratifikasi declaration itu. Tetapi samakah persepsi terhadap deklarasi itu? Belum tentu. Salah satunya adalah, apa yang telah dikatakan di atas, yaitu kebebasan berekspresi yang belum sepenuhnya dijamin.

Hal lain adalah, tidak adanya ketentuan dalam UUD Indonesia bahwa kebebasan berpindah agama juga dijamin. Mengenai hak kebebasan berpindah agama merupakan keberatan dari kebanyakan negara-negara Muslim, sebab dalam frame negara seperti ini berpindah agama adalah murtad yang diganjari dengan hukuman mati.


III. Indonesia Bukan Negara Islam


Harus selalu ditegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia adalah negara Pancasila. Sekarang ada semacam ketegangan, apakah Indonesia negara Pancasila ataukah negara Syariah? Tidak mudah mengurai hal ini. Ini lalu menjadi diskusi yang tidak habis-habisnya, yang sesungguhnya sudah dimulai pada saat-saat pertama proklamasi kemerdekaan. Kita masih ingat akan peristiwa “7 patah kata” yang sampai sekarang belum tuntas diselesaikan.

Organisasi-organisasi Islam terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah telah menegaskan, bahwa Indonesia adalah Negara Pancasila yang di dalamnya kemajemukan diterima. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah persepsi kita sama? Sebagai organisasi Islam, tentu saja mereka berhak untuk menafsirkan Pancasila di dalam kerangka nilai-nilai Islam. Demikian juga Kristen. Namun kita mesti menemukan semacam modus vivendi, yang di dalamnya kita semua memperoleh kepastian-kepastian.

Satu hal jelas - menurut saya - yaitu bahwa Pancasila adalah “rumah bersama”, yang di dalamnya kita semua, apapun agama dan suku kita diam secara bersama. Maka rumah itu tidak boleh dirubuhkan. Dengana kata-kata lain, nilai-nilai agama yang bersifat universal itu senantiasa difahami di dalam kerangka (frame) Pancasila. Sebaliknya juga benar, bahwa di dalam Pancasila ditemukan nilai-nilai universal yang kita hayati dari agama-agama.


IV. Bagaimana Dengan Syariah?


Secara harfiah, “syariah” berarti “jalan”. Sama maknanya dengan “Torah” di dalam Perjanjian Lama. Dalam pengertian ini tidak ada keberatan bagi yang menjalankannya. Dalam sebuah percakapan dengan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla, beliau menegaskan bahwa sebagai orang Islam ia wajib melaksanakan syariah, sama halnya dengan seorang Kristen yang juga wajib melaksanakan tuntutan-tuntutan agamanya. Sampai di situ, menurut saya tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah, bahwa syariah (atau apapun namanya) yang mestinya merupakan kewajiban spesifik bagi penganut suatu agama lalu dipromosikan menjadi ketentuan yang berlaku umum. Bagi yang tidak termasuk dalam agama tersebut, tentu ia merasa asing atau diasingkan.

Pada pihak lain, tentu saja ada nilai-nilai universal yang terkandung di dalam syariah, yang bisa saja diterima. Misalnya saja nilai keadilan sosial, tentu ada pada setiap agama. Tetapi nilai itupun sudah ditampung di dalam UU yang tidak secara spesifik bernuansa syariah. Mungkin oleh adanya pemahaman seperti itu, maka ada yang menawarkan apa yang disebut “syariah substantif”, artinya bahwa secara substansial nilai-nilai itu terdapat di dalam syariah. Yang menjadi persoalan adalah apabila syariah hanya diartikan secara simbolik dan lahiriah. Kecenderungan yang ada sekarang dengan perda-perda misalnya bahwa terlampau banyak hal-hal simbolis yang ditonjolkan sehingga tidak menolong bagi adanya sebuah integrasi sosial.


V. Tentang SKB dan PBM


Riwayat tentang dua dokumen ini telah banyak diceriterakan. PGI sendiri telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Dari SKB ke PBM”. SKB tahun 1969 telah banyak menuai protes terutama dari umat Kristen karena merekalah yang terlampau dirugikan selama ini. Karena itu berkali-kali kita menyampaikan protes kepada Pemerintah agar SKB tersebut dicabut.

SKB itu memang telah dicabut, tetapi diganti dengan PBM no 9 dan 8 Tahun 2006. Banyak yang berpendapat keliru bahwa seakan-akan PBM itu hadir karena PGI menyetujuinya. Perlu ditekankan di sini, bahwa PGI memang ikut membahasnya, memberikan masukan-masukan, tetapi apakah sebuah PBM diterbitkan bukanlah urusan PGI. Lagi pula tidak semua item di dalam konsep itu disetujui. Tetapi memang banyak usul-usul PGI yang diterima, di samping yang ditolak juga. Dengan memperhatikan konsep (draft) PBM tertanggal 3 Oktober 2005 yang disampaikan Depag/Depdagri jelas akan jauh lebih berat bagi gereja-gereja untuk melaksanakannya. Maka PGI melakukan “intervensi” agar dengan demikian diluruskan banyak hal. Tetapi tidak semua yang diusulkan itu sukses. Karena itu kalau Menteri Agama memberi kesan seakan-akan PGI telah menyetujui semuanya, itulah keliru. Tetapi PGI memang ikut serta di dalam diskusi, di mana pesertanya juga dibatasi hanya 2 orang bagi satu perwakilan agama.


Apa sebenarnya inti PBM? Intinya adalah agar orang dipermudah dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dibentuk, tetapi juga pemerintah-pemerintah daerah diwajibkan untuk memfasilitasi orang berbakti apabila ada kesulitan-kesulitan dan sejauh belum diperoleh jalan keluar yang memuaskan. Dasarnya adalah konstitusi yang memandang kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia. Maka kalau PBM sekarang dipakai untuk menghalangi orang beribadah, atau mengkriminalisasi orang beribadah hanya karena belum ada gedung ibadahnya, itulah bukan maksud PBM. Itu melawan konstitusi.


Pertanyaan adalah, haruskah pembangunan rumah-rumah ibadah diatur? Tentu saja harus, sama seperti juga mengatur pembangunan rumah-rumah lain. Tetapi pengaturan itu jangan bersifat diskriminatif dan hanya ditujukan kepada salah satu agama saja. Apalagi menjadi masalah kalau PBM itu ditafsirkan di dalam frame Negara Islam. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah hal pembangunan rumah ibadah tidak boleh dirancukan dengan hak beribadah.


Pada pihak lain, perlu juga ada introspeksi mendasar di kalangan umat Kristen sendiri. Apakah perlu membangun gedung ibadah sebanyak itu, kalau di sekitar situ telah cukup banyak rumah ibadah? Mengapa tidak diatur kemungkinan untuk memakai rumah ibadah secara bergiliran? Ada juga hal lain yang barangkali tidak tercakup dalam urusan ibadah, yaitu adanya kecemburuan sosial. Sering ada stigma bahwa umat Kristen jauh lebih kaya dari umat Islam. Sekali lagi ini stigma, karena dalam kenyataan bisa juga lain. Ada banyak justru orang Islam yang kaya, sedangkan daerah-daerah Kristen sangat ketinggalan. Barangkali intinya adalah agar umat Kristen jangan mengisolasikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada.


VI. Apa Yang Harus Dilakukan?


Aksi-aksi defensif barangkali telah banyak dilakukan. Kita mengirim surat kepada setiap instansi berwenang. Mengunjungi para pengambil keputusan guna mempengaruhi keputusan mereka. Bahkan juga sekian banyak unjuk rasa dilakukan umat Kristen. Namun sampai sekarang belum terlalu berhasil. Kecenderungan menutup rumah ibadah berjalan terus.

Melihat kenyataan-kenyataan ini, ada baiknya kita menerapkan cara yang bukan defensif, tetapi pro aktif. Secara bersama-sama kita menghantam akar kemiskinan. Mengapa kemiskinan dijadikan sasaran? Karena dalam berbagai upaya-upaya untuk menutup gedung-gedung ibadah “kaum miskin” dipakai (diperalat) untuk melakukannya.

Baiklah kita mengubah paradigma tentang pluralisme. Dengan kata-kata lain, kita tidak lagi sekadar berwacana tentang pluralisme tetapi in action. Karena kemiskinan adalah musuh kemanusiaan, tanpa memandang agama, maka pemberantasannya juga mesti dilakukan lintas agama. Para pemuda-pemudi (lintas agama) bisa memprakarsainya, dan di mulai dari akar rumput. Diharapkan aksi-aksi semacam ini akan bergulir, dan makin lama makin menjadi kekuatan raksasa yang membaharui masyarakat. Dengan demikian, segala potensi tidak lagi ditujukan untuk saling membinasakan, tetapi justru untuk menghantam musuh bersama, kemiskinan. Itulah pula makna kemajemukan dalam pengertian praktisnya.

Hal kedua, yang patut menjadi perhatian kita adalah agar ada percakapan-percakapan serius di antara umat Kristen yang berbeda denominasi mengenai kemungkinan mempergunakan rumah-rumah ibadah secara bersama-sama. Di masa-masa depan lahan akan menjadi semakin terbatas, sehingga menghabiskannya untuk membangun sekian banyak rumah ibadah juga merupakan tindakan yang kurang bertanggung jawab. Seruan ini tidak saja ditujukan bagi pembangunan rumah-rumah ibadah Kristen, tetapi juga bagi rumah-rumah ibadah lainnya.


Tentang PBM, kita terus memantau di lapangan sudah seberapa banyak gedung-gedung ibadah ditutup sejak diterbitkannya surat keputusan bersama ini. Sampai sekarang kita telah memantau 103 gedung gereja ditutup. Kita telah menyampaikan semua ini kepada Departemen Dalam Negri dan Departemen Agama. Juga protes telah disampaikan kepada Komnas HAM.
Demikianlah beberapa catatan saya. Kiranya bermanfaat.

(Penulis : Andreas A. Yewangoe)

No comments:

Post a Comment