Soal agama tidak lagi semudah dulu, ketika nenek moyang masih hidup di pulau terpencil, di lembah yang terkurung; pada waktu perputaran jadwal adat dan irama peristiwa masih serba tetap, pandangan masih bersahaja berhorizon terbatas; ketika "segala" soal sudah dikenal dan orang cukup punya waktu untuk mengolah matang hal-hal baru namun sedikit jumlahnya. Soal tempo dulu lalu tinggal sederhana saja: bagaimana melestarikan adat dan mewariskan pola-pola kepercayaan dan agama yang sudah lama berakar kepada generasi berikutnya. Generasi yang penurut dan tidak berpikir lain kecuali dalam seragaman yang sudah mantap. Terhadap "pulau seberang" atau "lembah sebelah" sikap ulah orang sudah jelas selalu: pihak lain adalah lawan, paling tidak saingan, jadi harus dikalahkan bahkan diperbudak. Agama raja yang jaya dengan sendirinya agama para kawula, sedangkan hidup mati agama tergantung dari menang kalah kekuasaan keris-kampak sang raja, sang panatagama, pemegang nasib agama.
Tetapi cakrawala semakin luas, lembah-lembah semakin terbuka, dan generasi baru semakin pintar dan ingin serta berkreasi sendiri. Manusia modern yang beragama semakin melihat kenyataan kebanyakragaman dan keserbabaruan dalam segala hal. Dari warna kulit sampai selera berpakaian, dari menu makan minum sampai adat sopan santun, kebudayaan budi bahasa yang lebih tinggi, cita rasa seni, dan ekspresi kreasi, tak ketinggalan ungkapan religius, cara berdoa dan mencari makna kehidupan, simbolisasi kebaktian dan radar jiwa intim mistik, semua itu menjadi serba bhinneka. Nalar serta perasaan sehat sadar bahwa memang begitulah normalnya, seperti dunia tumbuh-tumbuhan dan alam raya seluruhnya. Kebhinnekaan ternyata harus dinilai selaku kekayaan, ketidakseragaman dihargai selaku pesona yang menakjubkan.
Manusia modern zaman antariksawan yang telah mengatasi cakrawala berbentuk lingkaran tertutup dan menghayati ketidakterhinggaan alam antargalaksi kemudian semakin kehilangan selera untuk bercekcok, apalagi berperang agama. Bukan karena Tuhan dianggapnya tidak penting, melainkan karena penghayatan baru yang menakjubkan itulah yang membuatnya diam penuh rendah diri: betapa agung Tuhan, betapa dalam misteri ilahi. Dan betapa kecil dan bodoh makhluk yang bernama manusia itu, yang saling berebutan pengaruh seperti anak kecil berebutan krupuk. Sultan pulau kecil selalu merasa diri hebat dan benar, karena horizonnya sempit, namun manusia modern yang realistis merasa dina dan belum apa-apa justru karena tahu betapa agung penuh teka-teki alam makro raya maupun alam mikro serba penuh rahasia ini.
Itulah kedewasaan manusia modern yang sering dicemoohkan dengan sebutan sekuler, namun yang pada hakikatnya merupakan kemungkinan religiositas yang lebih otentik, lebih mengerti, dan tahu diri terhadap kemahaagungan Allah. Dari pihak lain, penuh risiko, penuh bahaya gagal karena serba coba-coba, akan tetapi justru lebih mempesonalah generasi baru yang lebih suka kreatif daripada menjiplak, lebih bahagia mencari sendiri daripada tinggal meneruskan warisan. Maka, ternyata bahwa generasi muda melihat dalam fanatisme agama hanya ulah kepicikan dan kesempitan cakrawala. Kebodohan juga dan celakanya kebodohan orang sombong.
Tetapi cakrawala semakin luas, lembah-lembah semakin terbuka, dan generasi baru semakin pintar dan ingin serta berkreasi sendiri. Manusia modern yang beragama semakin melihat kenyataan kebanyakragaman dan keserbabaruan dalam segala hal. Dari warna kulit sampai selera berpakaian, dari menu makan minum sampai adat sopan santun, kebudayaan budi bahasa yang lebih tinggi, cita rasa seni, dan ekspresi kreasi, tak ketinggalan ungkapan religius, cara berdoa dan mencari makna kehidupan, simbolisasi kebaktian dan radar jiwa intim mistik, semua itu menjadi serba bhinneka. Nalar serta perasaan sehat sadar bahwa memang begitulah normalnya, seperti dunia tumbuh-tumbuhan dan alam raya seluruhnya. Kebhinnekaan ternyata harus dinilai selaku kekayaan, ketidakseragaman dihargai selaku pesona yang menakjubkan.
Manusia modern zaman antariksawan yang telah mengatasi cakrawala berbentuk lingkaran tertutup dan menghayati ketidakterhinggaan alam antargalaksi kemudian semakin kehilangan selera untuk bercekcok, apalagi berperang agama. Bukan karena Tuhan dianggapnya tidak penting, melainkan karena penghayatan baru yang menakjubkan itulah yang membuatnya diam penuh rendah diri: betapa agung Tuhan, betapa dalam misteri ilahi. Dan betapa kecil dan bodoh makhluk yang bernama manusia itu, yang saling berebutan pengaruh seperti anak kecil berebutan krupuk. Sultan pulau kecil selalu merasa diri hebat dan benar, karena horizonnya sempit, namun manusia modern yang realistis merasa dina dan belum apa-apa justru karena tahu betapa agung penuh teka-teki alam makro raya maupun alam mikro serba penuh rahasia ini.
Itulah kedewasaan manusia modern yang sering dicemoohkan dengan sebutan sekuler, namun yang pada hakikatnya merupakan kemungkinan religiositas yang lebih otentik, lebih mengerti, dan tahu diri terhadap kemahaagungan Allah. Dari pihak lain, penuh risiko, penuh bahaya gagal karena serba coba-coba, akan tetapi justru lebih mempesonalah generasi baru yang lebih suka kreatif daripada menjiplak, lebih bahagia mencari sendiri daripada tinggal meneruskan warisan. Maka, ternyata bahwa generasi muda melihat dalam fanatisme agama hanya ulah kepicikan dan kesempitan cakrawala. Kebodohan juga dan celakanya kebodohan orang sombong.
No comments:
Post a Comment