Tema dan Sub Tema

Tema:
“Berubahlah Oleh Pembaruan Budimu” (Roma 12:2b).

Subtema:
“Bersama-sama Dengan Seluruh Elemen Bangsa Mewujudkan Masyarakat Sipil Yang Kuat dan Demokratis Untuk Menegakkan Kebenaran, Hukum Yang Berkeadilan, Serta Memelihara Perdamaian.”

Tema ini adalah penggalan dari surat rasul Paulus kepada Jemaat di Roma. Keadaan jemaat Roma yang minoritas dalam segala sesuatu di tengah peradaban dunia yang sungguh maju waktu itu mengharuskan mereka mempunyai sikap dan perilaku etis dan moral baru. Sikap dan perilaku itu tidak lagi terikat pada hukum Musa, tetapi juga (atau lebih-lebih lagi) tidak mengikuti saja apa yang sedang terjadi di dalam masyarakat sipil waktu itu. Umat yang baru ini mesti berbeda, kendati tidak harus berarti memisahkan diri dari dunia. Malah mereka harus “hidup dalam perdamaian dengan semua orang” (2:18). Maka harus ada tuntunan bagi jemaat ini. Itulah sebabnya Paulus megirim surat ini.

Surat ini terdiri atas 3 bagian: (1) mengenai ajaran Kristen (1:16-11:36); (2) tuntutan adanya hidup baru (12:1-15:13), kesimpulan (15:14-33); dan bagian terakhir berupa surat yang ditujukan kepada Febe (16:1-23), dan diakhiri dengan puji-pujian (doxologi). Seruan “berubahlah oleh pembaruan budimu” berada pada bagian 2. Tuntutan supaya hidup baru itu berdasar pada kesatuan dengan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya (6:2-6; 7:4-6). Ini bermakna, bahwa setiap orang yang telah dibaptiskan bersama-sama dengan Kristus, tidak lagi berjalan menurut daging, tetapi menurut Roh (8:4). Artinya orang mesti meninggalkan sikap dan perilaku lama dan berjalan dalam sikap dan perilaku baru. Sikap dan perilaku baru itu berisikan kebajikan dan kebaikan yang sumbernya adalah Kristus itu. Pendeknya ada tuntutan-tuntutan etis. Yang menggerakKan tuntutan-tuntutan etis itu adalah kemurahan hati. Prinsip yang mesti dipegangi ketika kita berbicara mengenai tuntutan-tuntutan etis adalah, bahwa kehidupan Kristen merupakan ibadah di dalam Roh yang ditujukan kepada Allah (12:1:13:14), yang di dalamnya kejahatan dikalah-kan oleh kebajikan (12:1).

Konsekuensi dari semuanya ini bagi orang beriman adalah, “janganlah serupa dengan dunia ini…” (12:2). Artinya janganlah ukuran-ukuran dunia dipakai untuk menakar sikap dan perilaku Kristen. Sebagai orang yang telah mati dan bangkit bersama Kristus mereka mempunyai ukuran-ukuran yang berasal dari Kristus sendiri. Tiga hal perlu diperhatikan dalam ayat 2 ini: (1) Etika dirumuskan Paulus secara negatip, yang berarti bahwa faktor dosa dipertimbangkan dengan sangat serius. Maka beriman berarti berbalik dari dosa (metanoia). (2) “Dunia” adalah istilah yang dapat pula berarti “masa” atau “zaman”. Ini berarti bahwa “masa kini” dikontraskan dengan “masa yang akan datang”. Masa kini bersifat sementara, dan konsekuensinya, kita tidak boleh ter-perangkap dalam masa kini yang bersifat sementara itu. (3) Sikap dan perilaku kita mesti diukur dengan ukuran-ukuran baru. Ukur-an-ukuran baru itulah yang dipadatkan dalam seruan, “berubahlah oleh pembaruan budimu….” Dengan demikian kalimat ini juga menjadi sangat penting.

Ini berarti bahwa perubahan itu mestilah terjadi terus-menerus. Orang beriman tidak boleh merasa puas dengan yang di-”capai”-nya. Perubahan itu juga harus mengenai pusat kesadaran kita sebagai manusia (nous), yaitu yang mencirikan kita sebagai manusia. Inilah catatan sangat mendasar dari etika Alkitab. Sikap dan perilaku kita jangan sekadar merupakan pemuasan diri, bangga akan segala sesuatu yang kita capai. Paulus menegaskan bahwa pembaruan itu mesti terus-menerus. Tidak boleh mandek (bdk. II Kor. 3:18). Jelas perubahan di sini tidak sekadar bersifat eksternal, tetapi mesti berasal dari dalam pusat kesadaran kita. Pembaruan itu digerakkan oleh Roh Allah. Akibat praktis dari pembaruan ini adalah, kita “dapat membedakan manakah kehen-dak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”.

Subtema adalah interpretasi dan penjabaran tema ke dalam kehidupan masa kini, yaitu bagaimana kita menerapkannya ke dalam sikap dan perilaku kita di tengah-tengah masyarakat kita. “Bersama-sama”, mengindikasikan kesadaran gereja bahwa ia tidak dapat menyelesaikan sendiri persoalan-persoalan kemanusiaan yang sangat kompleks. Gereja mesti selalu dalam keadaan siap untuk bekerja sama dengan seluruh elemen bangsa. Elemen bangsa adalah semua orang yang berada di sekitar kita tanpa memandang SARA. Mereka semua adalah teman se”kota” (polis). “Polis” kita adalah Indonesia. Persaudaraan otentik mesti dijalin. Sesungguhnya kehadiran gereja bukanlah bagi dirinya tetapi bagi orang lain, sama seperti Yesus yang adalah “Manusia Bagi Orang Lain”.

“Masyarakat sipil” adalah alih-kata dari civil society. Banyak yang menganggap alih-kata ini tidak tepat benar. Maka diusulkan agar dipakai istilah “masyarakat berkeadaban”. Istilah apa pun yang di-pakai, yang pasti adalah bahwa civil society, khususnya di negeri kita merupakan tujuan jangka panjang dari gerakan-gerakan reformasi. Gerakan-gerakan itu menghendaki terwujudnya sebuah masyarakat yang mandiri dan dewasa. Artinya sebuah masyarakat yang tidak selalu meminta “restu” kepada negara (pemerintah) untuk mengabsyahkan berbagai kegiatan-kegiatannya. Adapun ciri-ciri masyarakat seperti itu adalah, penghormatan kepada hak-hak asasi manusia dan ikut mendorong penegakannya, meng-hormati - dan menegakkan hukum yang berkeadilan, termasuk budaya hukum, selalu mendorong diwujudkannya demokrasi di segala bidang.

Maka civil society adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan sipil, yang di dalamnya kebebasan pers tercakup, dan penyampaian pendapat di muka umum tidak dikekang. Ini berarti, proses demokratisasi menuju masyarakat demokratis adalah suatu keniscayaan. Salah satu akibat dari hal ini adalah penolak-an yang keras terhadap militerisme. Masyarakat berkeadaban juga tidak mengenal ghetto-ghetto (dinding-dinding pembatas) atas dasar suku, agama, ras dan golongan.

Maka ketika dinding-dinding pembatas itu dirobohkan, terciptalah perdamaian otentik, bukan sekadar perdamaian yang direkayasa. Perdamaian sejati hanya dapat terungkap di dalam kebebasan sipil. Perdamaian sejati justru terjadi apabila kita mampu “melanggar” batas-batas itu, bertemu dengan “orang-orang lain” tanpa curiga. Perubahan oleh pembaruan budi akan sungguh-sungguh berarti apabila umat beriman dimampukan oleh Roh Kristus bersikap dan berperilaku sebagai yang sudah diperbaharui di dalam kehidupan bersama di negeri ini.

No comments:

Post a Comment