Banyak orang Kristen berpikir, kalau saya cinta Tuhan, pasti hidup saya diberkati. Kalau saya setia kepada Tuhan, pasti bisnis saya sukses. Dengan pikiran seperti ini maka mereka setia kepada Tuhan, mengasihi Tuhan, berjalan mengikut Tuhan, setia berbakti kepada Tuhan. Tetapi bukankah hidup yang kita jalani sebagai orang percaya di dalam dunia ini harus kita akui kadang-kadang tidak berbeda dengan kenyataan dan realita yang dialami oleh orang-orang yang tidak percaya Tuhan? Bahkan banyak orang percaya Tuhan, yang hidupnya jujur dan baik, belum tentu lebih kaya, lebih sukses dan lebih berhasil daripada orang lain. Sebaliknya ada orang yang mungkin hidupnya tidak jujur, tidak benar dan tidak bertanggung jawab, tetapi ternyata lebih makmur dan lebih kaya. Orang yang cinta Tuhan belum tentu tidak mengalami tragedi di dalam hidup ini.
Kita yang menjalani hidup realita sehari-hari, tidak usah sampai masuk ke dalam wilayah rohani, pada waktu kita ada di tengah dunia yang sudah berdosa ini, terlalu banyak hal yang kita lihat dan alami sesungguhnya di luar dari dugaan kita. Banyak di antara kita yang mengalami sendiri, kita sudah atur baik-baik, kita sudah rencanakan dengan teliti, kita sudah perhitungkan baik-baik, tetapi bukankah apa yang kita jalani sekarang ini ternyata tidak 100% terjadi sesuai dengan planning kita? Banyak orang mengakui, apa yang sudah dia atur dan rencanakan baik-baik dan di atas kertas hasilnya pasti akan berjalan baik, ternyata setelah menjalani hidup ini banyak hal tidak terjadi seturut dengan apa yang dia harapkan, yang dia cita-citakan, yang dia programkan.
Unik sekali, Lukas memilih untuk menceritakan kisah hidup Zakharia dan Elisabet menjadi fokus sentral permulaan kisah Injilnya. Zakharia adalah seorang imam dari keturunan Lewi yang menikah dengan seorang wanita keturunan Harun (Luk. 1:5). Tidak ada lagi yang lebih diberkati dari seorang imam yang menikah dengan isteri dari keturunan imam. Di dalam Kitab Imamat dikatakan seorang imam sepatutnya menikah dengan seorang gadis yang masih perawan (Imamat 21:13) karena seorang imam yang memimpin jemaat harus menjadi contoh teladan. Zakharia bukan saja menikah dengan gadis baik-baik, tetapi yang juga adalah keturunan dari Imam Besar Harun. Maka betapa diberkati Zakharia di mata masyarakat sekitarnya. Alkitab mencatat Zakharia dan Elisabet isterinya hidup tidak bercela, setia melayani Tuhan, menuruti segala perintah Tuhan (Luk. 1:6). Tapi selanjutnya Lukas mengupas hidup Zakharia dan Elisabet yang dijalani puluhan tahun di dalam tragedi dan kesulitan yang ada. Mereka tidak mempunyai anak sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut usia (Luk. 1:7).
Cukup banyak hal yang mengecewakan yang bisa engkau dan saya ceritakan di dalam pengalaman hidup, yang membuat kita tidak berdaya mencari jalan keluar lepas dari hal itu. Ada banyak hal yang susah dan sulit tapi masih ada dan masih bisa dicari jalan keluarnya. Tetapi siapa yang bisa menyelesaikan persoalan kemandulan? Siapa yang bisa menyelesaikan persoalan anak kita lahir cacat? Siapa yang bisa menyelesaikan persoalan ketika satu pasangan baru menikah, suami pulang kantor mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat seumur hidup? Itu tragedi yang real terjadi, tragedi yang ada di dalam wilayah dimana engkau dan saya tidak berdaya merubahnya. Zakharia dan Elisabet tidak punya solusi akan kemandulan ini. Mereka hanya bisa datang kepada Tuhan menyerahkan persoalan ini di dalam doa mereka. Telah bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun mereka mungkin berdoa dan berdoa kepada Tuhan. Sebagai seorang imam yang melayani di sinagoge, tentu tidak mudah bagaimana dia mengajar jemaatnya bagaimana membesarkan anak sebab dia mengajarkan sesuatu yang di dalam hidupnya tidak ada. Di dalam Talmud dan peraturan imam bahkan orang seperti Zakharia ini layak diekskomunikasi dari pelayanan karena tidak memiliki anak. Selama puluhan tahun Zakharia dan Elisabet harus menanggung bisik-bisik dari luar yang dirasakan sebagai aib yang merendahkan mereka. Baik secara langsung maupun tidak langsung mereka harus mendengarkan celoteh dan tuduhan dari masyarakat akan kemandulan mereka. Tidak mungkin orang yang setia dan tulus di hadapan Tuhan tidak diberi berkat satu orang anak pun dari Tuhan. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan atau ada kesalahan dan dosa yang mereka perbuat sehingga Tuhan melakukan hal seperti ini terhadap mereka.
Banyak “kemandulan” mungkin terjadi dalam hidup engkau dan saya dan kita tidak berdaya untuk mencari jalan keluar lepas daripadanya. Mungkin sdr berjuang mencangkul tanah yang kering dan tandus, tidak menghasilkan buah yang baik, tetapi engkau tidak berdaya dan tidak mampu mencari tempat lain untuk berusaha.
Tetapi Injil ini memulai dengan satu cerita orang-orang yang cinta Tuhan, orang-orang yang bersih hidupnya, orang-orang yang mengasihi dan melayani Tuhan belum tentu hidup lepas daripada tragedi di dalam dunia ini. Namun cerita ini tidak berakhir di sini. Lukas justru ingin mengangkat berita pengharapan dari orang yang mengalami seperti ini bagaimana mereka mengatasinya; bagaimana mereka bisa keluar dan lepas dari apa yang mereka hadapi. Ketika tragedi itu datang ke dalam hidup, kita hanya bisa memberi dua respons yang berpulang kepada kita masing-masing. Respons pertama seperti yang dikatakan oleh Yakub ketika anak-anaknya kembali dari Mesir dan meminta Benyamin untuk pergi bersama mereka ke Mesir, Yakub meratap dan menangisi keadaannya, “…aku inilah yang menanggung segala-galanya” atau dalam terjemahan bahasa Inggris “All this has come against me” (Kej. 42:36). Ini tragedi yang Yakub alami. Memang anaknya banyak, tetapi betapa sulit bagi dia di dalam satu keluarga berturut-turut dia harus kehilangan anak. Pertama, Yusuf; kemudian Simeon, dan sekarang dia harus kehilangan Benyamin. Betapa sedih dan sakit hati Yakub, bukan?
Hal-hal tragedi yang sangat menyedihkan kita dengar dan jumpai setiap hari, orang tua yang harus menguburkan anaknya. Betapa susah dan sulitnya perasaan hati mereka tidak terbayangkan. Yakub bertahun-tahun kehilangan Yusuf. Saya rasa jauh lebih sulit bagi dia untuk menanggung kehilangan anak tanpa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi kepada dia, dibanding kalau jenasah anak itu kembali ke pangkuannya dan dikubur baik-baik. Walaupun sedih, paling tidak Yakub bisa “close the chapter” dan melanjutkan hidup. Anak hilang, walaupun mungkin dalam hati kecil merasa anak itu sudah tidak ada, tetapi di pihak lain masih ada seberkas harapan mungkin suatu hari anak itu akan kembali. Engkau bangun pagi-pagi masih ada gairah untuk menjalani hidup karena engkau berharap anak itu masih hidup. Namun engkau sudah tidak mau bangun lagi sebab dihantui oleh kesedihan dan rasa bersalah dan tidak bisa menjalani realita itu. Hati Yakub seperti itu adanya. Yusuf sudah tidak ada, Simeon sudah tidak ada. Sekarang kamu mau ambil Benyamin. All this has come against me! Itu sikap dia. Pada waktu orang yang cinta Tuhan mengalami tragedi demi tragedi, mungkin sikap itu yang dia ambil, kenapa ya saya hidup dalam dunia ini, mengapa hidup ini tidak bersahabat denganku? Hidup ini tidak nyaman bagiku. Sampai aku tua, kenapa hidup ini terus against kepadaku? All things come against me. Kita meratapi nasib dan mempersalahkan situasi.
Atau sebaliknya kita mengambil attitude dari Roma 8:28, “All things work together for good.” Engkau dan saya mencintai Tuhan, engkau dan saya melayani Tuhan, namun pada waktu mengalami seperti ini, biar attitude yang kita ambil adalah percaya akan firman kebenaran ini, “Allah bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi-Nya…”
Kedua, menghadapi seperti itu, bersabar menantikan Tuhan, itulah yang dinyatakan oleh Zakharia. Lukas mencatat, adalah Zakharia, yang setia, yang cinta Tuhan, yang hidupnya tidak bercacat cela, yang melayani Tuhan dari grup Abia. Pada waktu kesempatan grup dia melayani Tuhan di Bait Suci, waktu diundi Zakharia mendapatkan kesempatan melayani masuk ke dalam Bait Allah (Luk. 1:8-9). Sebagai gambaran, pada waktu itu ada begitu banyak imam yang melayani di Bait Allah sehingga harus dibagi ke dalam 24 grup. Ada 52 minggu dalam setahun, berarti paling banyak satu grup berkesempatan melayani dua kali. Satu grup itu kira-kira ada 1000-an imam. Itu sebab perlu diundi siapa yang harus masuk ke dalam ruang suci Bait Allah untuk melayani Tuhan. Mari kita bayangkan, mungkin dari umur 30 tahun Zakharia menunggu kapan kesempatan datang baginya, dan mungkin umur 70 tahun baru muncul nama dia. Itu pun masih bagus, karena pasti banyak imam yang sampai meninggal tidak pernah ada kesempatan namanya keluar undian. Betapa sabar, betapa menantinya dia, betapa indah hidup dia. Orang yang seperti ini tetap menjadi orang yang datang berbakti kepada Tuhan; orang yang seperti ini tetap melaksanakan ibadahnya secara rutin kepada Tuhan; orang yang seperti ini tetap konsisten dan setia kepada Tuhan. Coba engkau dan saya bayangkan kalau saat itu dia kecewa dan melepaskan tugas jabatannya sebagai imam, hari itu Tuhan ingin datang dan berbicara kepada dia, maka dia akan kehilangan momen itu.
Pendeta J. I. Packer mengatakan, sabar tidak berarti orang itu menunggu pasif seperti seorang petapa. Sabar berarti tetap dengan cheerful menerima apa yang terjadi di dalam hidupnya dan menjalaninya dengan konsisten. Sabar berarti sukacita menjalani hidupnya dengan seluruh latihan “fitness rohani” yang teratur karena tidak tahu kapan waktunya pada waktu kita diperlukan untuk lari marathon, kita sudah siap dan bisa mengerjakan hal itu. Sabar bukan duduk diam, pasif dan tidak mengerjakan apa-apa. Seorang yang sabar adalah seorang yang berani mengambil sikap untuk tetap menjalani apa yang dia percaya dan imani walaupun mungkin di dalam menjalani dan mengerjakannya dia tidak melihat dan belum menyaksikan apa yang menjadi janji Tuhan di dalam hidupnya. Kisah Zakharia yang dikisahkan Lukas menjadi indah bagi Teofilus, mengingatkan bahwa Allah pada waktu mengunjungi hidup kita, Allah itu adalah Allah yang melakukan sesuatu kepada orang yang berharap kepada-Nya, orang yang menanti dengan sabar di hadapanNya. Dan ini adalah satu kisah yang indah bagi setiap kita yang dengan sabar setia menanti Tuhan, Tuhan tidak akan pernah mengecewakan orang-orang seperti itu. Kita sabar dan menanti Tuhan, kita berespons kepada-Nya dengan indah tanpa kita kecewa kepada-Nya.
Tidak lama setelah Perang Dunia ke 2 berakhir, seorang hamba Tuhan bernama William Sangster, seorang pendeta dari Methodist Westminster Central Hall di London didiagnosa terkena penyakit Progressive Muscular Atrophy, yaitu penyakit yang menyebabkan berhentinya dengan perlahan-lahan otot mulai dari kaki hingga ke atas selama 3 tahun. Satu penyakit yang sangat painful luar biasa. Mulai dari ujung kaki otot mulai berhenti bergerak terus ke atas, itulah progressive muscular atrophy yang membuat hamba Tuhan ini sampai akhirnya hanya bisa menggerakkan dua jari tangan saja. Jadi itu seperti semen yang mengering dari bawah ke atas. Banyak orang menulis the rules of life, the rules of study, the rules of ministry, sedangkan Pdt. Sangster menulis “The Four Rules of Dying” ketika perlahan-lahan tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kematian. Pertama, I will never complain. Kedua, I will keep the home bright. Ketiga, I will count my blessings. Keempat, I will try to turn it to gain. Tiga tahun lamanya dia menderita, sedikit demi sedikit penyakit itu menggerogoti tubuhnya. Dengan setia, sabar dan cinta Tuhan, setiap kali orang datang menjumpainya, Pdt. Sangster memberikan penghiburan dan sukacita bagi mereka. Dia tidak pernah mengeluh, dia tidak menunjukkan kepahitan terhadap apa yang dia alami. Dia tidak melihat penyakitnya sebagai penderitaan dan merubahnya menjadi berkat bagi orang lain.
Orang-orang benar yang cinta Tuhan belum tentu hidupnya terhindar dari tragedi, tetapi orang-orang yang cinta Tuhan adalah orang-orang yang setia dan sabar menanti kepada Tuhan dan di dalam menanti Tuhan, dia setia, dia konsisten menjalani hidup ini menjadi berkat bagi orang lain.
Lukas kemudian menceritakan di dalam ruang sanctuary Bait Allah, malaikat Gabriel menemui Zakharia dan berkata, “Jangan takut hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan…” (Luk. 1:13). Injil Lukas adalah salah satu yang mencatat secara detail doa-doa dari orang-orang yang mengalami kesusahan dan Tuhan mendengar dan menjawab doa mereka. Namun sekaligus di sini kita menyaksikan kelemahan dari seorang yang cinta Tuhan. Betapa tidak mudah, berpuluh-puluh tahun Zakharia terus berdoa kepada Tuhan, terus minta Tuhan memberi seorang anak baginya, sampai akhirnya dia berhenti berdoa karena merasa sudah terlalu lama dia meminta dan tidak pernah ada jawabannya. Tetapi Tuhan tidak pernah lupa dan tidak pernah mengabaikan doa yang disampaikan oleh Zakharia kepada-Nya.
Banyak orang berpikir berdoa adalah satu resource yang terakhir ketika sudah tidak ada jalan keluar dan pertolongan yang lain yang bisa dia dapat. Doa seperti itu menjadi suatu cetusan desperate dan teriakan putus asa. Kita tidak boleh memiliki sikap doa seperti itu. Doa orang Kristen seharusnya menjadi doa pernyataan trust kepada Tuhan, persandaran hidup yang tahu bahwa ia hidup sampai hari ini semata-mata ditopang oleh berkat dan anugerah Tuhan. Ia ada sampai hari ini itu semata-mata adalah pemberian Tuhan yang baik kepada-Nya. Doa sekaligus juga menyatakan kepada Tuhan banyak hal yang tidak sanggup kita bisa ubah dan perbaiki dari hidup ini kecuali kalau bukan Tuhan yang intervensi merubah hidupku. Itulah sebabnya kita datang berdoa kepada Tuhan. Berdoa berarti kita meletakkan semua kelemahan hidupku dan bersandar kepada lengan Allah yang kokoh adanya. Doa adalah ekspresi persandaran kita kepada Tuhan. Doa berarti saya serahkan kepada Tuhan, kapan dan bagaimana Tuhan bekerja, kita tidak tahu tetapi kita taruh beban hidup kita ke dalam tangan-Nya.
Aku tidak punya anak, aku mandul. Itu suatu tragedi yang tidak bisa kita ubah kecuali kita datang kepada Tuhan. Entah berapa lama Zakharia berdoa. Adalah hal yang wajar engkau dan saya lemah, setelah puluhan tahun berdoa kita kemudian berhenti berdoa karena logika kita, kalkulasi kita sudah berjalan di depan. Kita pikir, “Mana mungkin Tuhan menjawab doaku?” Maka pada waktu malaikat Gabriel datang menjumpainya, kalimatnya memakai Aorist Tense, “Tuhan telah mengabulkan doamu…” Zakharia pasti berpikir, doa yang mana? Kita pernah doakan sesuatu mungkin lima sepuluh tahun yang lalu, dan sudah tidak kita doakan lagi sebab kita rasa tidak ada perubahan apa-apa. Kita mengalami itu, bukan? Barangkali sebelum doa kita sudah tanya lebih dulu, berapa lama kita mesti berdoa? Sampai kapan? Kalau sudah bertahun-tahun kita berdoa, akhirnya kita berhenti karena Tuhan tidak jawab koq. Zakharia sudah lama berhenti berdoa. Isteri sudah tidak mungkin lagi punya anak karena sudah tua. Itu dulu doaku pada waktu masih muda; itu dulu doaku pada waktu masih ada kemungkinan Tuhan menjawabnya. Sekarang aku sudah tidak doakan lagi karena sudah tidak mungkin.
Maka pada waktu malaikat Tuhan bilang, engkau akan punya anak, Zakharia bertanya, bagaimana mungkin? Mari kita bandingkan, pada waktu malaikat Tuhan bilang kepada Maria, engkau akan punya anak, Maria bertanya, bagaimana bisa? Dimana perbedaannya? Pertanyaan Maria bicara soal bagaimana metodenya karena Maria masih perawan. Sedangkan pertanyaan Zakharia bicara soal tidak mungkin sebab dia sudah tua, maka dia rasa itu tidak mungkin terjadi. Maka Gabriel menegur ketidak-percayaan Zakharia dan akhirnya Zakharia menjadi bisu. Mandul dan bisu memiliki perbedaan. Mandul adalah tragedi hidup yang terjadi kepada Elisabet. Mandul adalah sesuatu yang terjadi sebagai kedaulatan Tuhan yang tidak kita mengerti di tengah dunia yang sudah jatuh di dalam dosa, banyak hal tidak seturut dengan kalkulasi perhitungan orang yang cinta Tuhan pasti akan diberkati. Mandul berarti di dalam dunia yang penuh dengan air mata, penuh dengan kejahatan, penuh dengan kesulitan, yang tidak memandang bulu bisa datang kepada siapa saja, entah dia orang benar atau orang jahat. Mandul adalah tragedi hidup, tetapi bisu adalah teguran Tuhan terhadap secuil ketidak-percayaan dari anak-anak Tuhan kepada firman dan janji-Nya. Bukankah engkau seorang imam, hai Zakharia? Bukankah engkau sering mengajar dan mengingatkan orang-orang yang juga mengalami kesulitan dan tantangan di dalam hidup mereka dengan menyuruh mereka percaya kepada Tuhan dan janji-Nya? Mengapa sekarang engkau sendiri tidak percaya akan hal itu? Pada waktu orang berdiri di hadapan Tuhan dan membawa secuil keraguannya kepada Tuhan, Tuhan menegur orang itu. Pada waktu orang berdiri di hadapan Tuhan dan membawa secuil kesulitan dan penderitaannya, Tuhan menolong orang itu. Pada waktu orang datang di hadapan Tuhan dan membawa segumpal kesulitan dan penderitaannya, Tuhan mengangkat itu. Pada waktu orang datang di hadapan Tuhan membawa pertanyaan dan ingin mendapatkan jawaban yang benar, Tuhan dengan sabar menajwab orang itu. Tetapi Allah juga adalah Allah yang akan menegur orang yang sudah tahu dan yang sepatutnya mencerminkan hidup yang percaya dan bersandar kepada Tuhan. Pada waktu ada tragedi terjadi di dalam hidup kita, mari kita sabar kepada Tuhan. Tetapi pada waktu ada bisu kesulitan datang sebagai teguran Tuhan terhadap hidup kita yang tidak setia dan beriman kepada-Nya, mari kita koreksi diri. Mandul sebagai tragedi mungkin hilang, mungkin tidak hilang. Tapi bisu merupakan satu teguran Tuhan yang bersifat sementara. Sembilan bulan engkau bisu, tujuannya apa? Supaya engkau renungkan baik-baik, rendahkan diri di hadapan Tuhan dan tidak menjadi orang yang tidak percaya kepada firman Tuhan. Pada waktu kita sakit di rumah sakit, pakai waktu itu teduh dan renung di hadapan Tuhan. Pada waktu kita mungkin menghadapi tantangan kesulitan, pakai kesempatan itu teduh dan renung di hadapan Tuhan, mungkin Tuhan menegur ketidak-percayaan kita. Biar kita bertobat dan kembali kepada-Nya.
No comments:
Post a Comment