Ancaman seperti judul tulisan ini mungkin pernah dialami oleh beberapa di
antara kita. Biasanya ancaman tersebut keluar dari orangtua non-Kristen pada
anak-anaknya yang ingin ke gereja atau diajak oleh temannya untuk beribadah di
gereja. Ancaman seperti ini biasanya tidak main-main, terutama bila orangtua
tersebut adalah orangtua yang cukup taat dalam agamanya yang non-Kristen.
Kalimat selanjutnya dari ancaman ini bisa bermacam macam. Ada yang diancam akan
diusir dari rumah, ada yang diancam tidak akan diakui sebagai anak lagi, ada
yang diancam akan dikurung di dalam kamar, ada yang diancam tidak diberi
makan, dan bahkan bila sudah lebih dewasa, bisa juga diancam tidak akan
mendapat warisan dan macam-macam ancaman lainnya.
Bagaimana sebaiknya menyikapi larangan atau ancaman semacam ini? Di satu
sisi, Tuhan mengajarkan kita untuk taat dan hormat pada orangtua; di sisi
yang lain, bila kita tidak bisa beribadah kepada Tuhan, berarti kita tidak
memberi kesaksian yang baik sebagai anak-anak Tuhan. Sebuah kontroversi yang
sulit untuk dipecahkan.
Kalau si anak sudah cukup dewasa dan sudah mempunyai penghasilan sendiri,
mungkin tidak terlalu takut dengan ancaman semacam ini, tapi bila anak tersebut
masih duduk di bangku SD, tentu ancaman-ancaman semacam ini sangat menakutkan.
Jadi bagaimana sebaiknya menyikapi ancaman semacam ini?
Terlepas dari seberapa usia si anak, ada beberapa prinsip yang perlu kita
perhatikan dAlam menyikapi ancaman seperti ini. Kontroversinya adalah antara
mengutamakan Tuhan atau menghormati orangtua. Sebelum mencoba menjawab
kontroversi ini, mari kita lihat terlebih dahulu beberapa contoh kasus.
Kasus pertama. Seorang anak SMA dari keluarga non-Kristen beribadah ke
gereja, karena diajak oleh beberapa teman sekolahnya. Orangtua anak ini tidak
melarang anak ini pergi ke gereja dengan syarat, tidak boleh dibaptis. Boleh ke
gereja, tapi tidak boleh fanatik, begitu selalu pesan ayah si anak ini. Tapi,
melalui ibadahnya di gereja, Tuhan ‘menangkap’ anak ini. Anak ini bertobat
sungguh-sungguh dan mau percaya serta menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan
Juruselamatnya pribadi. Sampai di sini semuanya masih baik-baik saja. Masalah
timbul ketika anak ini akhirnya memutuskan untuk dibaptis. Ayah si anak
uring-uringan dan marah besar ketika si anak minta ijin pada ayahnya untuk
dibaptis. Sebetulnya, untuk dibaptis tidak perlu ijin dari orangtua, tapi si
anak ingin menghargai dan menghormati orangtuanya, sehingga dia merasa
harus memberitahukan hal ini pada orangtuanya. Si ayah langsung mengeluarkan
ultimatumnya: “Awas, kalau kamu berani dibaptis, Papa usir kamu dari rumah ini.
Papa tidak akan mengakui kamu sebagai anak Papa lagi.”
Kasus kedua. Seorang anak SD dari keluarga non-Kristen diajak oleh temannya ke sekolah minggu. Karena masih SD dan tidak bisa pergi sendiri ke gereja, tentu saja si anak harus minta tolong orangtuanya untuk mengantar dia ke sekolah minggu. Sudah dapat diduga, ayah si anak ini menolak mentah-mentah keinginan anaknya. Jangankan mengantar, seandainya anak itu bisa pergi sendiripun, pasti ayahnya tidak akan mengijinkan. Walaupun tiap minggu si anak minta pada ayahnya untuk mengantar dia ke sekolah minggu, si ayah tidak bergeming dari keputusannya. Sebetulnya orangtua dari teman yang mengajak si anak ini ke gereja sudah bersedia untuk menjemput anak ini untuk dapat bersama-sama ke sekolah minggu bersama anaknya. Tetapi si anak tidak berani menerima tawaran temannya ini, karena ayahnya tetap melarang dia untuk pergi ke sekolah minggu walaupun dijemput temannya.
Masih banyak kasus lain yang hampir serupa, tapi sekarang marilah kita andaikan kedua anak tersebut datang kepada kita untuk minta nasihat. Apa nasihat yang akan kita berikan pada mereka? Tidak mudah tentunya. Marilah sekarang kita ikuti, apa yang terjadi pada mereka selanjutnya?
Anak pada kasus pertama, minta nasihat pada hamba Tuhan pembimbingnya, dan mendapatkan nasihat bahwa keputusan untuk dibaptis adalah keputusan yang bersifat pribadi, jadi tidak boleh dipengaruhi orang lain. Sekarang, tergantung pada anak itu sendiri, apakah dia berani menyatakan iman percayanya di depan umum dan mengambil resiko dari ancaman orangtuanya? Anak ini akhirnya mantap tekadnya untuk dibaptis. Tapi, setelah dibaptis, dia tidak bercerita pada ayahnya bahwa dia sudah dibaptis. Anak ini bertekad tidak akan menceritakan bahwa dia sudah dibaptis lewat kata-kata, tapi lewat perbuatan sehari-hari yang menunjukkan perubahan setelah dia menjadi anak Tuhan. Bertahun-tahun kemudian, ayahnya melihat adanya perubahan dalam diri si anak dan juga sikapnya yang begitu menghormati orangtuanya. Perbuatan seringkali berbicara lebih kuat daripada kata-kata. Di dalam hati si ayah mempunyai dugaan yang sangat kuat kalau anaknya sudah dibaptis, tapi dia tidak bisa melakukan ancaman yang pernah diucapkannya, karena diam-diam dia juga jadi sangat mengasihi anak ini. Singkat kata, akhirnya melalui kesaksian hidup anak ini, seluruh keluarganya dimenangkan menjadi anak Tuhan.
Anak pada kasus kedua terus memohon pada orangtuanya untuk diantar ke sekolah minggu, tapi tetap taat pada orangtuanya walaupun dilarang ke sekolah minggu dan tetap taat pada orangtuanya walaupun orangtua temannya sebetulnya mau menjemputnya untuk sama-sama ke sekolah minggu. Dalam keseharian anak ini tetap bersaksi melalui hidupnya yang taat pada orang tua nya dan tidak pernah merengek pada orangtuanya bila mempunyai keinginan tertentu, kecuali untuk yang satu itu, yaitu ke sekolah minggu. Akibatnya, orangtua si anak menjadi penasaran, ada apa sih di gereja atau di sekolah minggu itu sampai si anak ini begitu antusias ingin ke sekolah minggu? Akhirnya, pada suatu hari minggu si ayah ini yang malah mengajak anaknya ke sekolah minggu karena penasaran. Dan luar biasa pekerjaan Tuhan, si ayah malah dimenangkan menjadi anak Tuhan pada waktu dia ke gereja.
Jadi, kesimpulannya, sampai sejauh mana kita mentaati dan menghormati orangtua kita? Mungkin ada yang mengatakan bahwa seperti yang dikatakan firman Tuhan dalam alkitab, kita harus menghormati orangtua di dalam Tuhan, artinya menghormati dan mentaati orangtua selama yang diperintahkan orangtua sesuai dengan kehendak Tuhan. Tapi pendapat ini kelihatannya menjadi kurang cocok dengan kasus kedua. Mungkin juga ada yang mengatakan bahwa kita harus berani bersaksi dan berterus terang dengan iman percaya kita walaupun mendapat ancaman,, apalagi, sekali lagi, ancamannya dari orangtua yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Inipun kelihatannya menjadi kurang cocok dengan kasus pertama.
Dari kedua kasus di muka, kita bisa melihat bahwa dalam tiap kasus, ternyata cara penyelesaiannya tidak selalu sama. Dan untuk penyelesaian kasus- kasus seperti ini ternyata Tuhan pun tidak memberikan ‘petunjuk pelaksaan’nya secara gamblang dalam alkitab. Kalau begitu, apa yang menjadi dasar pertimbangannya? Hanya satu, yaitu belajar untuk terus memuliakan Tuhan melalui hidup kita. Pada kasus yang pertama, bila si anak berterus terang bahwa dia sudah dibaptis, maka kesan yang muncul adalah anak itu tidak taat dan menantang ‘perang’ dengan orangtuanya. Itu jelas tidak memuliakan nama Tuhan. Lebih baik berdiam diri terlebih dahulu dan membiarkan Tuhan yang bekerja. Pada kasus yang kedua, bila si anak nekad untuk pergi ke sekolah minggu dijemput orangtua temannya, mungkin malah membuat orangtuanya bertengkar dengan orangtua temannya.
Untuk kondisi-kondisi seperti inilah Tuhan memberikan hikmat pada kita. Seringkali banyak hal sulit yang tidak mudah kita temukan jawabannya dalam hidup kita bisa kita peroleh jawabannya dengan meminta hikmat dari Tuhan. Kuncinya, sekali lagi, adalah mendahulukan kemuliaan Tuhan dan bukan ego kita, karena kadang-kadang, walaupun pada mulanya kita ingin memuliakan Tuhan,, tanpa disadari kita malah jadi mengutamakan ego kita. Sebagai contoh, pada kasus pertama, si anak bisa terjebak dalam mengutamakan ego ketika dia berpikir bahwa dia harus menunjukan siapa dirinya (yaitu sudah menjadi anak Tuhan) pada dunia sekitarnya, termasuk pada orangtuanya. Tanpa disadari juga keinginan ini menjadi semacam ‘peperangan’ antara egonya dengan ego orangtuanya.
Tujuan utama dari hukum-hukum atau perintah-perintah yang Tuhan berikan pada kita adalah agar hidup kita memuliakan nama-Nya. Jangan sampai terjebak menjadi memuliakan diri sendiri dengan mengatas namakan memuliakan nama Tuhan. Perintah-perntah itu adalah sarana, bukan tujuan akhir dan tujuan utamanya. Tuhan memerintahkan kita untuk menghormati orangtua kita, tapi Dia terlebih lagi memerintahkan kita untuk takut akan Dia.
“Engkau harus bangun berdiri di hadapan orang ubanan dan engkau harus
menaruh hormat kepada orang yang tua dan engkau harus takut akan Allahmu;
Akulah TUHAN.” Imamat 19:32
No comments:
Post a Comment