Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu,
dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran (Amsal 17:17)
Bob tercekam dalam kedukaan saat istrinya
meninggal dunia. Ia dan anak-anaknya tidak tahu harus berbuat apa. Telepon
terus berdering. Teman-teman mengucapkan kata penghiburan, namun tak satu pun
mempan. Esok harinya, Bob bangun disertai nyeri rasa sepi. Sahabatnya, David,
menelepon. "Bob, aku sudah di bandara. Empat jam lagi tiba di kotamu. Aku
tahu kamu sedang tak mau diganggu. Aku akan tinggal di hotel. Kapan pun kamu
butuh bantuanku, teleponlah!" Bob terharu. David tak memberi nasihat. Ia
hanya ingin hadir menemaninya. Belakangan David membersihkan rumahnya,
membelikan makanan untuk anak-anaknya, duduk di sebelahnya tanpa bicara.
Ketika Ayub ditimpa musibah, ketiga sahabatnya
juga berusaha melakukan yang terbaik. Jauh-jauh mereka datang "dari
tempatnya masing-masing" (ayat 11). Motivasi mereka murni: ingin
menghibur. Solidaritas mereka tinggi. Mereka ikut menangis dan mengoyakkan
jubah, tanda kedukaan. Mereka pun hadir bagi Ayub. Tujuh hari lamanya mereka
duduk bersama Ayub. Diam. Sayangnya, setelah itu mereka tidak tahan. Mulailah
mereka menasihati dan menghakimi. Akibatnya, Ayub menjadi kecewa (Ayub 2:25-30).
Untuk menjadi "saudara dalam kesukaran",
kerap yang dibutuhkan bukanlah perkataan hikmat. Sahabat kita kadang tidak
butuh banyak nasihat. Yang ia butuhkan hanyalah kehadiran dan pendampingan
kita. Telinga yang peka mendengar, bukan mulut yang cepat menghakimi. Hati yang
peka dan mengerti. Bersediakah Anda menjadi sahabat yang baik? Jangan
memaksanya menuruti pendapat kita. Bebaskanlah sahabat Anda menjadi dirinya
sendiri.
SAHABAT ANDA TIDAK BUTUH KATA-KATA MEMIKAT
IA HANYA MEMERLUKAN ANDA HADIR DEKAT
No comments:
Post a Comment