Toleransi Beragama di Indonesia

I. Setelah 63 Tahun Merdeka Masih Ngomong Tentang Toleransi?

Setelah 63 tahun merdeka kita masih sibuk dengan percakapan-percakapan tentang toleransi beragama. Mengapa? Bukankah bangsa kita dikenal di dunia sebagai bangsa yang sangat toleran? Sikap toleran itu telah berurat berakar di dalam budaya bangsa kita sebagaimana kita lihat dalam bangunan candi-candi di Jawa Tengah yang saling berdekatan satu sama lain. Candi Borobudur adalah candi Buddha, sementara candi Prambanan adalah candi Syiwa. Kita juga mengetahui bahwa para penasihat raja-raja Jawa dulu kala terdiri dari berbagai orang yang mengikuti sekte-sekte berbeda-beda. Semua bisa diterima dan dihormati. Tetapi toleransi bukan hanya diungkapkan dalam simbol-simbol. Juga dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sudah jamak bahwa bahkan di dalam keluarga yang sama terdapat penganut agama yang berbeda-beda. Semuanya baik-baik saja. Pada waktu lampau tidak ada keberatan untuk misalnya menyampaikan selamat hari raya kepada tetangga yang beragama lain. Ucapan-ucapan itu adalah tanda bahwa ada silaturahim di antara orang-orang bertetangga.


II. Mengapa Sekarang Kita Berdiskusi Lagi?


Mengapa kita perlu mendiskusikan lagi toleransi beragama sekarang ini? Mungkin sekali karena akhir-akhir ini timbul ketegangan-ketegangan di antara orang-orang berbeda agama. Bahkan beberapa tahun lalu kita menyaksikan konflik-konflik berdarah di Maluku, Maluku Utara, Poso, dan di beberapa tempat lainnya yang tidak bebas dari nuansa-nuansa agama. Tentu saja konflik-konflik itu dipicu oleh sebab-sebab lain di luar agama, tetapi dengan segera kita melihat betapa agama dibawa-bawa dalam konflik sehingga persoalan menjadi makin runyam. Sekarangpun kita masih melihat kecenderungan yang ada, kendati baru terbatas pada ketegangan-ketegangan. Di suatu daerah misalnya tidak boleh ada rumah ibadah didirikan karena, demikian dalihnya, belum ada izin diberikan. Tetapi persoalannya adalah bahwa kendati sudah diminta, izinnya tidak kunjung keluar, sementara orang tidak bisa berhenti beribadah. Atau rumah ibadah yang sudah ada disuruh tutup, karena konon tidak sesuai dengan PBM. Dengan demikian, PBM yang mestinya memudahkan orang untuk mendirikan rumah ibadah, lalu berubah menjadi alat penekan. Bahkan orang beribadah sendiri dikriminalisasikan. Ini tentu saja sangat disayangkan.


Bukan itu saja kenyataan yang kita hadapi. Di dalam agama yang sama pun terjadi ketegangan-ketegangan. Sebagai manusia yang berbeda, tentu saja tidak diharapkan kita seragam di dalam segala sesuatu. Keberagaman adalah hakikat kemanusiaan. Hal itu terungkap juga di dalam kita menginterpretasi agama, dan menghayatinya. Tentu tidak sama di antara para penganut itu, kendati ajaran-ajaran intinya tetap satu. Yang perlu diperkembangkan adalah kemampuan kita untuk menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.


Jadi diskusi ini barangkali adalah salah satu upaya untuk saling memahami perbedaan dan dengan demikian saling menghargainya. Perbedaan tidak harus selalu identik dengan kejahatan.


III. Agama-agama Memang Berbeda

Jelas, agama-agama memang berbeda. Mungkin saja ada agama-agama yang memang berasal dari akar yang sama. Yahudi, Kristen, Islam misalnya biasanya dilihat sebagai berasal dari akar abrahamik. Artinya Abraham dianggap sebagai “nenek moyang” agama-agama itu yang sama-sama mengakui Allah Yang Esa. Ini tentu baik, dan bagus juga untuk memperkembangkan pemahaman seperti itu. Juga menarik bagi para ahli ilmu pengetahuan agama. Namun bagi para penganut agama (biasa), agama-agama selalu berbeda. Karena itu tidak boleh dicampur aduk. Kalau dicampur aduk, terjadilah pencampuradukan (sinkretisme) agama-agama yang tentu saja mengkhianati agama-agama itu. Tidak ada satupun agama yang dibantu dengan pencampuradukan itu. Namun demikian, dalam setiap agama yang berbeda itu terkandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi kebersamaan untuk hidup dalam masyarakat. Nilai keadilan misalnya, pasti terdapat dalam setiap agama. Nilai kejujuran, pasti dijunjung tinggi dalam setiap agama. Dan seterusnya. Nilai-nilai itu dapat diangkat sebagai nilai bersama. Ini bukan sinkretisme.


Bahwa setiap penganut agama menganggap agamanya paling benar, itulah wajar-wajar belaka. Tetapi bahwa klaim agama saya yang paling benar itu dipaksakan juga kepada penganut agama lain, tentu tidak wajar lagi. Ini akan menimbulkan ketegangan. Bagaimana menghormati perbedaan-perbedaan, dibutuhkan kedewasaan dan kematangan di dalam beragama dan bermasyarakat. Kematangan ini adalah ekspresi dari kebebasan kita sebagai manusia untuk juga dengan sukarela mendengarkan bagaimana para penganut agama lain menghayati dan mengungkapkan imannya. Dengan kemajuan alat-alat komunikasi yang sangat canggih dewasa ini, hampir tidak ada lagi ruang yang steril dari penyampaian pesan-pesan agama. Saya yang beragama Kristen bebas untuk mendengarkan pesan dari agama Islam. Itulah wujud kemerdekaan saya sebagai manusia.


Demikian juga alat-alat komunikasi canggih sekarang ini menayangkan kesaksian-kesaksian dari orang-orang yang berpindah agama. Dengan gamblang mereka menceriterakan pengalaman-pengalaman spiritual mereka sehingga mereka mengambil keputusan untuk berpindah dari agama A ke agama B. Saya kira dibutuhkan sikap kedewasaan untuk menyimak kesaksian-kesaskian seperti itu.


IV. Peranan Negara


Negara adalah pengayom semua penganut agama yang berbeda-beda itu. Negara tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap siapapun atas dasar agama. Keputusan-keputusan pemerintah (yang menubuhi negara) mestilah selalu didasarkan atas konstitusi. Negara tidak boleh mendasarkan keputusannya atas keputusan lembaga-lembaga yang bukan negara. Mungkin ada pertimbangan-pertimbangan dari lembaga-lembaga seperti itu, tetapi negara tetap mendasarkan keputusannya pada konstitusi. Pemerintah tidak berteologi. Yang berteologi adalah umat beragama sendiri. Tetapi negara menciptakan peluang (ruang) agar umat beragama dapat mengungkapkan imannya di muka umum (termasuk beribadah dan berteologi) secara bebas.


V. Beban Sejarah dan Visi Ke Depan


Tidak dapat disangkal bahwa kita mempunyai beban-beban sejarah. Akan halnya agama Kristen misalnya, masih belum bebas dari anggapan bahwa inilah agama kaum penjajah. Mungkin anggapan itu sebagian benar dalam arti bahwa tibanya kekristenan di Indonesia bersamaan dengan masuknya kolonialisme dan imperialisme. Tetapi itu tidak berarti bahwa semua penganut agama Kristen mempunyai mentalitas kolonialisme dan imperialisme. Bisa dibuktikan bahwa kaum intelektual yang dididik oleh Belanda pada waktu lalu justru ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Juga bisa dibuktikan bahwa kekristenan tidak semuanaya dibawa oleh kaum kolonialisme dan imperialisme. Banyak kaum penginjil yang datang ke Tanah Air yang justru dengan keras menentang praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme. Bahkan upaya-upaya pekabaran Injil mereka ditentang oleh para penguasa kolonial pada waktu lalu karena kekuatiran terganggunya stabilitas pada satu daerah.


Semua yang dikatakan ini adalah beban-beban sejarah yang tidak boleh dibiarkan. Kalau kita ingin benar-benar bersatu sebagai bangsa, dan bersama-sama maju ke depan, maka beban-beban sejarah seperti ini harus dihapuskan. Selanjutnya kita merumuskan visi bersama bagi kemajuan bangsa. Sekarang ini persoalan kemiskinan misalnya menjadi sangat akut. Setelah 63 tahun merdeka, toh kemiskinan masih menjadi musuh yang tidak mudah ditaklukkan. Kita harus melakukan introspeksi mengapa hal itu terjadi. Mengapa bangsa-bangsa lain di Asia yang belakangan merdeka sudah lebih dulu “tinggal landas”? Jangan-jangan karena kita masih terus sibuk dengan persoalan-persoalan ideologis, sehingga kita tidak punya waktu untuk sungguh-sungguh bekerja. Saya kira kita tidak usah lagi mengutak-atik Pancasila yang selama ini diterima bersama. Kita tinggal mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kita memang perlu “membebaskan” Pancasila dari “bajakan” mentalitas Orde Baru yang menjadikannya sebagai alat kekuasaan. Pancasila harus sungguh-sungguh hidup di dalam kehidupan seharĂ­-hari kita. Hanya dengan mengamalkan nilai-nilainya, kita dapat maju bersama.

(diambil dari : pgi.or.id)

No comments:

Post a Comment