Kapan kita bisa
menunjukkan kemurahan hati kita untuk membantu sesama? Ada banyak yang
menganggap dirinya belum sanggup untuk memberi karena untuk diri sendiri saja
belum cukup. Nanti kalau saya sudah kaya, kalau uang sudah berlebih-lebih,
kalau sudah tidak tahu mau dibelanjakan kemana lagi, itu menjadi bentuk
pemikiran mereka mengenai kapan waktu yang tepat untuk bermurah hati memberi.
Kenyataannya manusia cenderung merasa tidak pernah cukup dan tidak pernah puas.
Kalau begitu mereka pun tidak akan kunjung tergerak untuk menolong orang lain
dengan memberi sebagian yang ada pada mereka. Ada pula orang yang rajin memberi
tetapi atas alasan yang salah. Mereka memberi karena mengharapkan sebuah
balasan, dengan maksud-maksud atau agenda tertentu alias pamrih. Menjelang
pemilihan umum, pilkada dan sebagainya, semua ini bisa dengan mudah kita lihat.
Itu bukanlah hal memberi yang didasari oleh kemurahan hati.
Alkitab banyak berbicara mengenai keikhlasan untuk memberi
yang didasarkan kepada kemurahan hati, baik lewat firman-firman Tuhan maupun
contoh-contoh dari berbagai tokoh. Hari ini mari kita lihat contoh dari dua
orang janda pada dua kesempatan berbeda. Pertama mari kita lihat janda miskin
di Sarfat dalam Perjanjian Lama yang memberi Elia makan dalam kekurangannya. (1
Raja Raja 17:7-24). Pada saat itu Elia tiba di Sarfat yang tengah mengalami
kemarau panjang. Ia bertemu dengan seorang janda miskin. Ketika Elia meminta
roti kepada sang janda, "perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada
roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit
minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong
kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan
setelah kami memakannya, maka kami akan mati." (1
Raja Raja 17:12). Itu jelas sebuah potret kehidupan serba kekurangan yang berat
yang harus dipikul oleh sang ibu janda di Sarfat ini. Ia cuma punya segenggam
tepung dan sedikit minyak serta dua tiga potong kayu api. Itupun masih harus
dibagi dua dengan anaknya. Tetapi kemudian kita melihat bagaimana persediaan
terakhirnya yang sangat sedikit itu rela ia berikan kepada Elia. Ia membuat
roti untuk Elia dan merelakan Elia menghabiskannya. Tuhan ternyata menghargai
besar keputusannya itu. Tidak saja ia diberkati dengan persediaan makanan yang
cukup untuk berhari-hari lamanya, tidak habis-habis (ay 15-16), tapi anaknya pun
dibangkitkan kembali dari kematian. (ay 22).
Dalam Perjanjian Baru kita melihat kisah janda lainnya di
Bait Allah yang menarik perhatian Yesus ketika memberikan persembahan. Tidak
seperti orang-orang kaya yang mungkin memasukkan amplop besar, janda miskin ini
memasukkan dua peser saja ke dalam peti. Tetapi ternyata jumlah kecil itu
mendapat reaksi sangat positif dari Yesus. "Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu." (Lukas
21:3). Mengapa bisa demikian? "Sebab mereka semua memberi persembahannya dari
kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi
seluruh nafkahnya." (ay 4). Janda ini rela memberi dalam
kekurangannya, bahkan semua uang yang ia miliki ia berikan dengan sukarela. Dua
janda dalam dua masa yang berbeda, sama-sama miskin, sama-sama menderita,
sama-sama berkekurangan, tetapi keduanya sama-sama memiliki kemurahan hati yang
luar biasa.
Namanya kemurahan hati, itu berarti kemurahan jelas merupakan
sikap hati. Karena merupakan sebuah sikap hati maka itu tidak tergantung dari
berapa jumlah harta yang kita miliki atau kondisi yang kita alami saat ini.
Ketika kemurahan mewarnai sikap hati kita, kita akan rela memberi dengan
sukacita tanpa peduli apapun keadaan kita atau berapapun yang kita punya.
Mengapa kita harus memiliki sikap kemurahan ini? Karena Allah yang kita sembah
adalah Bapa yang murah hati. Hal ini ditegaskan Yesus sendiri yang bisa kita
baca di dalam Alkitab. "Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu
adalah murah hati." (Lukas 6:36). Murah hati adalah bagian dari kasih (1
Korintus 13:4). Dan kasih jelas merupakan sesuatu yang mutlak untuk dimiliki
oleh orang-orang percaya. Kita harus malu ketika kita mengaku anak Tuhan tetapi
tidak memiliki kasih, dimana salah satu bentuknya adalah keengganan atau
beratnya dalam memberi. Tepat seperti apa yang dikatakan Yohanes,"Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah,
sebab Allah adalah kasih" (1 Yohanes 4:8). God is love. Mengaku mengenal Allah artinya kita
mengenal kasih. Dan bagaimana kita berani mengaku mengerti akan artinya kasih
apabila kita merasa rugi untuk memberi kepada mereka yang hidup berkekurangan?
Tuhan adalah kasih, dan Tuhan murah hati. Dia selalu memberi
segala sesuatu yang terbaik bagi kita, bahkan anakNya yang tunggal pun Dia
relakan untuk menebus kita semua dari kebinasaan menuju keselamatan yang kekal.
Lihatlah bagaimana sikap hati Allah sendiri sebagai The Giver atau Sang Pemberi. Hal seperti inilah
yang harus mewarnai sikap hati kita sebagai orang percaya.
Dua janda yang saya angkat menjadi contoh hari ini hendaknya
mampu memberikan keteladanan nyata dalam hal memberi. Adakah yang harus
ditunggu agar mampu memberi? Tunggu kaya dulu? Tunggu berlebih dulu? Tunggu sampai
semua kebutuhan yang tidak pernah ada habisnya itu tercukupi? Sesungguhnya
tidak. Kita tetap bisa memberi dalam kekurangan dan keterbatasan kita, kita
bisa melakukannya dengan penuh sukacita apabila sikap kemurahan tumbuh subur
dalam hati kita. Tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk memberi puluhan juta
kepada orang lain yang kelaparan, tapi sudahkah kita melakukan sesuatu bagi
orang disekitar kita meski nilainya sedikit? Atau sudahkah kita memberikan
waktu, perhatian, kasih sayang kepada keluarga kita sendiri? Sudahkah kita
berada dengan mereka di saat mereka butuh kehadiran kita? Sudahkah kita memberi
senyum kepada orang yang sudah lama tidak merasakan indahnya sebuah senyuman?
Sudahkah kita memberi kelegaan kepada mereka yang tengah sesak menghadapi
tekanan hidup? Itupun termasuk dalam kategori memberi. Kalau begitu, kapan kita
sebaiknya mulai memberi? Mengapa tidak sekarang juga?
Memberi seharusnya merupakan
sikap hati orang percaya karena Bapa pun murah hati
No comments:
Post a Comment